Menjaga amanah ilmiah (kejujuran
intelektual)
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu
dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (Qs, Al Ahzab :
72)
Amanah ialah seluruh urusan agama yang dipercayakan kepada manusia
(Tafsir At Thabari, 12/5).
“Amanah ilmiah” amanah yang harus dimiliki oleh
pelaku dialog atau penulis karya ilmiah, dimana hendaknya ia berlaku jujur dan
dapat dipercaya, jauh dari khianat, pemalsuan dan manipulasi data.
Diantara amanah ilmiah adalah :
-Menisbatkan pemikiran dan pendapat kepada pemiliknya. Artinya tidak
boleh menukil pendapat orang lain, lalu menisbatkannya kepada dirinya atau
kepada orang lain yang bukan pemiliknya.
Allah Ta’ala berfirman : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” (Qs, An Nisa : 58)
Imam As Suyuti berkata, “Diantara berkah ilmu dan bentuk syukur atas
ilmu yang didapat adalah penisbatan ilmu kepada pemiliknya”
-Ketetapan dalam menisbatkan pendapat kepada pemiliknya, dan tidak
boleh mengubah suatu ucapan. Meskipun lawan bicara adalah orang yang memusuhi
Islam, akan tetapi kita tetap harus jujur dalam masalah ini.
Allah Ta’ala berfirman : “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu
jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa”. (Qs, Al Maidah 8)
-Jangan jadi plagiat, yakni mengakui karya orang lain sebagai
karyanya (Tahrifun Nushsus, Bakr abu Zaid)
-Mencermati ketepatan data yang dilontarkan lawan bicara melalui
sumber-sumber rujukan terpercaya, karena bisa jadi ia telah mengubahnya, salah
nukil, atau salah paham.
-Tidak memaksakan diri untuk dianggap sebagai orang yang berilmu dan
bertakwa.
Allah Ta’ala berfirman : “Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak
meminta upah sedikitpun padamu atas da'wahku dan bukanlah aku termasuk
orang-orang yang mengada-adakan” (Qs, Shaad 86)
An Nasafi berkata : “Yang di maksud dengan mutakallifin (orang yang
mengada-ngada) adalah orang yang menyandang gelar yang semestinya tidak menjadi
haknya” (Tafsir An Nasafi, 4/48)
Dari Asma Binti Abu Bakar radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah
Shalallahu ‘alahi wasallam bersbda: “Orang yang mengeyangkan dirinya dengan apa
yang bukan haknya, ibarat orang yang mengenakan dua pakaian kepalsuan” ( HR.
Bukhari dan Muslim)
- Tidak gegabah dalam memberikan vonis terhadap orang atau pihak
lain. Juga tidak menggeneralisasi sebuah vonis.
Allah Ta’ala berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan
kepada orang yang mengucapkan "salam" kepadamu: "Kamu bukan
seorang mukmin" (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda
kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak”. (Qs, An NIsa
94)
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (Qs, Al Hujurat 6)
Dipahami dari ayat ini, bahwa suatu keputusan ditetapkan melalui
dugaan dan bentuk lahir, bukan melalui kepastian atau apa yang ada dalam hati
(Al Jami’ Li ahkamil Qur’an, 5/339). Ayat ini juga menerangkan keharusan
mencari kejelasan dalam memutuskan sesuatu.
Wallahu ‘alam
Semoga bermanfaat, Barokallah fiikum
(Sumber: Dr. Abdullah bin Ibrahim Ath Thariqi, Berbeda pendapat, hal
87-88)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar