Senin, 31 Desember 2012

Menjaga amanah ilmiah (kejujuran intelektual)


 Bismillaah…


Menjaga amanah ilmiah (kejujuran intelektual)


“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (Qs, Al Ahzab : 72)


Amanah ialah seluruh urusan agama yang dipercayakan kepada manusia (Tafsir At Thabari, 12/5).

 “Amanah ilmiah” amanah yang harus dimiliki oleh pelaku dialog atau penulis karya ilmiah, dimana hendaknya ia berlaku jujur dan dapat dipercaya, jauh dari khianat, pemalsuan dan manipulasi data.

Diantara amanah ilmiah adalah : 


-Menisbatkan pemikiran dan pendapat kepada pemiliknya. Artinya tidak boleh menukil pendapat orang lain, lalu menisbatkannya kepada dirinya atau kepada orang lain yang bukan pemiliknya.


Allah Ta’ala berfirman : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” (Qs, An Nisa  : 58)


Imam As Suyuti berkata, “Diantara berkah ilmu dan bentuk syukur atas ilmu yang didapat adalah penisbatan ilmu kepada pemiliknya” 


-Ketetapan dalam menisbatkan pendapat kepada pemiliknya, dan tidak boleh mengubah suatu ucapan. Meskipun lawan bicara adalah orang yang memusuhi Islam, akan tetapi kita tetap harus jujur dalam masalah ini.


Allah Ta’ala berfirman : “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”. (Qs, Al Maidah 8)


-Jangan jadi plagiat, yakni mengakui karya orang lain sebagai karyanya (Tahrifun Nushsus, Bakr abu Zaid)


-Mencermati ketepatan data yang dilontarkan lawan bicara melalui sumber-sumber rujukan terpercaya, karena bisa jadi ia telah mengubahnya, salah nukil, atau salah paham.


-Tidak memaksakan diri untuk dianggap sebagai orang yang berilmu dan bertakwa.


Allah Ta’ala berfirman : “Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da'wahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan” (Qs, Shaad 86)


An Nasafi berkata : “Yang di maksud dengan mutakallifin (orang yang mengada-ngada) adalah orang yang menyandang gelar yang semestinya tidak menjadi haknya” (Tafsir An Nasafi, 4/48) 


Dari Asma Binti Abu Bakar radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alahi wasallam bersbda: “Orang yang mengeyangkan dirinya dengan apa yang bukan haknya, ibarat orang yang mengenakan dua pakaian kepalsuan” ( HR. Bukhari dan Muslim)    


- Tidak gegabah dalam memberikan vonis terhadap orang atau pihak lain. Juga tidak menggeneralisasi sebuah vonis.


Allah Ta’ala berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan "salam" kepadamu: "Kamu bukan seorang mukmin" (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak”. (Qs, An NIsa 94)


“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (Qs, Al Hujurat 6)


Dipahami dari ayat ini, bahwa suatu keputusan ditetapkan melalui dugaan dan bentuk lahir, bukan melalui kepastian atau apa yang ada dalam hati (Al Jami’ Li ahkamil Qur’an, 5/339). Ayat ini juga menerangkan keharusan mencari kejelasan dalam memutuskan sesuatu.


Wallahu ‘alam


Semoga bermanfaat, Barokallah fiikum
(Sumber: Dr. Abdullah bin Ibrahim Ath Thariqi, Berbeda pendapat, hal 87-88)
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar