Bismillah….
Pengaruh jejaring sosial
Internet dengan segenap isinya (berita online selalu update, aliran status di FB dan Twitter yang setiap saat datang, dll) yang sangat mengedepankan freshness telah mendorong kita tenggelam dalam era ‘ketergesaan’, dan terjebak dalam kedangkalan informasi tanpa substansi.
Tiap hari ribuan informasi datang ke screen online kita; dan sebagian besar hadir dalam bentuk yang khas : ringkas, acap berisikan info yang trivial (kosong tanpa makna) dan kadang menempelkan link di sejumlah bagiannya. Semua hadir dengan instan, dan always updated.
Itu semua memberikan pengaruh
mendalam bagi perilaku para internet users : kita semua menjelajah internet
dengan pola quick reading dan quick scanning (dan tanpa
fokus). Klik link ini sebentar, lalu lihat link lain sebentar. Baca berita
disini sebentar, lalu broswe status disana sebentar. Kita lalu terbiasa – dan
kemudian “menyukai” pola baca yang penuh distraksi seperti itu.
Kita juga kemudian cepat bosan dengan tulisan/artikel di internet yang terlalu panjang (makin pendek makin baik). Pertanyaan saya : pernahkan Anda membaca artikel yang panjangnya lebih dari 15 halaman di media internet ? Jawabannya mungkin tidak pernah.
Pelan namun pasti, pola perilaku online semacam diatas mendidik otak kita untuk berpikir dalam kerangka yang sama : serba ingin cepat (tergesa-gesa), cepat bosan dengan kedalaman, dan berpikir dengan penuh distraksi (tanpa fokus).
kebiasaan menjelajah internet telah membuat kita makin enggan untuk membaca buku-buku serius yang tebal (sebab otak kita telah terbiasa dengan info online yang serba ringkas) dan kita juga makin tidak terlatih untuk melakukan deep thinking yang memerlukan konsentrasi dan ketekunan (sebab otak kita sudah terbiasa dengan dunia online yang serba cepat, instan, dan trivial).
Dalam jangka panjang, situasi semacam diatas secara sistematis akan merusak kecakapan otak kita untuk melakukan “deep processing” serta kemampuan untuk mengolah imajinasi, pemikiran dan analisa secara mendalam.
kemampuan kita untuk me-retain informasi yang kita baca melalui media online juga jauh lebih buruk dibanding jika kita membaca informasi itu melalui buku konvensional. Kemampuan menyerap itu akan jauh lebih buruk lagi jika informasi/artikel yang kita baca di internet itu memuat banyak link (semakin banyak link dalam sebuah artikel akan makin membuat daya tangkap pembaca akan isi artikel itu makin menurun).
Kebiasaan kita untuk “berpikir a'la internet” yakni suka menyerap informasi pendek dengan instant, cepat dan penuh distraksi juga akan merembet ke kehidupan nyata kita. Pelan-pelan karena terbiasa dengan “gaya berpikir a la internet” ini, kita lalu makin sulit untuk membangun konsentrasi dalam waktu lama untuk menekuni sesuatu (pekerjaan misalnya). Kita juga makin cepat bosan dengan sesuatu yang memerlukan ketekunan (kita selalu ingin seperti ketika berkelana di dunia maya : bisa cepat berpindah-pindah secara seketika).
Demam smartphone (seperti
Blackberry dan Android) serta komputer tablet (semacam iPad dan Galaxy Tab)
kian memperburuk situasi semacam itu. Dengan gadget mobile ini, kita
jadi kian tenggelam dalam “gaya berpikir a la Internet” : always online anytime
anywhere. Dan dengan itu, pola pikir yang mengedepankan “instant access”,
update berita, update info dan update status (seolah-olah semua ini penting)
terus mengharu biru pikiran kita.
Dengan kata lain, kehadiran
gadget modern semacam itu akan mendorong kita untuk makin terjebak dalam “pola
pikir serba ringkas, serba cepat, dan serba penuh distraksi”. Ini semua
diam-diam mungkin akan kian menggerus kemampuan kita untuk melakukan “deep
thinking” : menekuni sebuah informasi (atau buku-buku serius) secara mendalam
dengan tekun.
Ada banyak hal yang mestinya masih ingin saya tuliskan disini. Namun saya takut Anda sudah bosan dengan tulisan yang terlalu panjang ini (sebab mungkin Anda semua juga sudah terkena sindrom “berpikir a la Internet”)…….. Misi ah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar