Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Al-Halabi Al-Atsary
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Al-Halabi Al-Atsary
Banyak
orang yang mencampuradukkan antara ibadah dengan yang lainnya, dimana mereka
berupaya membenarkan bid’ah yang dilakukan dengan memnggunakan dalil kaidah,
hukum asal dalam segala sesuatu adalah boleh !
Kaidah
tersebut adalah kaidah ilmiah yang benar. Tapi penempatannya bukan dalam
masalah ibadah. Sesungguhnya kaidah tersebut berkaitan dengan keduniawian dan
bentuk-bentuk manfaat yang diciptakan Allah padanya. Bahwa hukum asal dari
perkara tersebut adalah halal dan mubah kecuali jika terdapat dalil yang
mengharamkan atau melarangnya.
Syaikh
Yusuf Al-Qaradhawi berkata dalam bukunya Al-Halal wal Haram fil Islam (hal.21)
setelah menjelaskan sisi yang benar dalam memahami kaidah tersebut. “Demikian
itu tidak berlaku dalam ibadah. Sebab ibadah merupakan masalah agama murni yang
tidak diambil kecuali dengan cara wahyu. Dan dalam hal ini terdapat hadits,
“Barangsiapa yang mebuat hal yang baru dalam urusan (agama) kami ini apa yang bukan
darinya, maka dia di tolak”.
Demikian
itu karena sesungguhnya hakikat agama terdiri dari dua hal, yaitu tidak ada
ibadah kecuali kepada Allah, dan tidak boleh beribadah kepada Allah kecuali
dengan syari’at yang ditentukanNya. Maka siapa yang membuat cara ibadah dari
idenya sendiri, siapa pun orangnya, maka ibadah itu sesat dan ditolak.. Sebab
hanya Allah yang berhak menentukan ibadah untuk taqarrub kepada-Nya.
Oleh
karena itu cara menggunakan kaidah ilmiah yang benar adalah seperti yang
dikatakan oleh Al-Alamah Ibnul Qayyim dalam kitabnya yang menakjubkan, I’lam
al-Muwaqqi’in (I/344): “Dan telah maklum bahwa tidak ada yang haram melainkan
sesuatu yang diharamkan Allah dan RasulNya, dan tidak dosa melainkan apa yang
dinyatakan dosa oleh Allah dan RasulNya bagi orang yang melakukannya.
Sebagaimana tidak ada yang wajib kecuali, apa yang diwajibkan Allah, dan tidak
ada yang haram melainkan yang diharamkan Allah, dan juga tidak ada agama
kecuali yang telah disyari’atkan Allah. Maka hukum asal dalam ibadah adalah
batil hingga terdapat dalil yang memerintahkan. Sedang hukum asal dalam akad
dan muamalah adalah shahih [1] hingga terdapat dalil yang melarang. Adapun
perbedaan keduanya adalah, bahwa Allah tidak disembah kecuali dengan apa yang
telah disyariatkanNya melalui lisan para rasulNya. Sebab ibadah adalah hak
Allah atas hamba-hambaNya dan hak yang Dia paling berhak menentukan, meridhai
dan mensyari’atkannya”
Syaikh Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyyah Al-Fiqhiyyah (hal 112) berkata, “Dengan mencermati syari’at, maka kita akan mengetahui bahwa ibadah-ibadah yang diwajibkan Allah atau yang disukaiNya, maka penempatannya hanya melalui syari’at”
Syaikh Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyyah Al-Fiqhiyyah (hal 112) berkata, “Dengan mencermati syari’at, maka kita akan mengetahui bahwa ibadah-ibadah yang diwajibkan Allah atau yang disukaiNya, maka penempatannya hanya melalui syari’at”
Dalam
Majmu Al-Fatawa (XXXI/35), beliau berkata, “Semua ibadah, ketaatan dan taqarrub
adalah berdasarkan dalil dari Allah dan RasulNya, dan tidak boleh seorang pun
yang menjadikan sesuatu sebagai ibadah atau taqarrub kepada Allah kecuai dengan
dalil syar’i”.
Demikian
yang menjadi pedoman generasi Salafus Shalih, baik sahabat maupun tabi’in,
semoga Allah meridhai mereka.
Diriwayatkan
oleh Nafi’ Radhiyallahu ‘anhu, “Seseorang bersin di samping Ibnu Umar
Radhiyallahu ‘anhu, lalu ia berkata, ‘Alhamdulillah wassalamu ‘ala Rasulih
(segala puji bagi Allah dan kesejahteraan kepada RasulNya)’. Maka Ibnu Umar
berkata, “Dan saya mengatakan, Alhamdulillah wassalamu ‘ala Rasulillah. Tetapi
tidak demikian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kami.
Beliau mengajarkan agar kami mengatakan, “Alhamdulillah ‘ala kulli hal” (segala
puji bagi Allah dalam segala hal) [2]
Dari Sa’id bin Musayyab Radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang tersebut berkata, “Wahai Abu Muhammad (nama panggilan Sa’id bin Musayyab), apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?” Ia menjawab : “Tidak, tetapi Allah akan menyiksa kamu karena menyalahi Sunnah” [3]
Al-Alamah
Syaikh Al-Albani dalam Irwa Al-Ghalil (II/236) berkata setelah menyebutkan
riwayat tersebut, “Ini adalah jawaban yang kuat untuk mematahkan argument ahlu
bid’ah yang menganggap baik tumbuh suburnya bid’ah dengan alasan demi
menghidupkan dzikir dan shalat. Mereka tidak senang kepada Ahlus Sunnah yang
mengkritik perbuatan mereka dengan menganggap bahwa Ahlus Sunnah anti dzikir
dan shalat!. Padahal hakikatnya Ahlus Sunnah mengingkari mereka itu adalah
karena mereka menyalahi Sunnah dalam dzikir, shalat dan yang lainnya”
Sufyan
bin Uyainah berkata, “Saya mendengar bahwa seseorang datang kepada Malik bin
Anas Radhiyallahu ‘anhu lalu berkata, “Wahai Abu Abdullah (nama panggilan
Malik), dari mana saya ihram?” Ia berkata, “Dari Dzulhulaifah, tempat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ihram” Ia berkata, “Saya ingin ihram
dari masjid dari samping makam (nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), “Ia
berkata, “Jangan kamu lakukan. Sebab saya mengkhawatirkan engkau tertimpa
fitnah”, Ia berkata, “Fitnah apakah dalam hal ini? Karena aku hanya menambahkan
beberapa mil saja!” Ia berkata, “Fitnah manakah yang lebih besar daripada kamu
melihat bahwa kamu mendahului keutamaan yang ditinggalkan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Sesungguhnya Allah berfirman, “Maka hendaklah
orang –orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau
ditimpa adzab yang pedih [4], [5]
Dan
betapa indahnya apa yang ditulis Imam Umar bin Abdul Aziz rahimahullah kepada
sebagian gubernurnya ketika mewasiatkan mereka untuk menghidupkan sunnah dan
mematikan bid’ah. Saya mewasiatkan kepdamu agar bertakwa kepada Allah,
sederhana dalam melaksanakan perintah-Nya serta mengikuti sunnah Rasul-Nya dan
meninggalkan hal-hal baru yang dibuat orang-orang yang setelahnya dalam sesuatu
yang telah berlaku sunnahnya dan cukupkanlah dengannya.
Ketahuilah,
bahwa tidaklah seorang melakukan bid’ah melainkan telah datang sebelumnya dalil
yang menyalahkannya dan telah datang pula pelajaran yang menunjukkan kebid’ahan
perbuatan tersebut. Maka hendaklah kamu memegang teguh sunnah. Sebab
sesungguhnya sunnah itu akan melindungimu dengan izin Allah.
Ketahuilah,
bahwa orang yang melakukan sunnah akan mengetahui bahwa melanggarnya akan
mengakibatkan kesalahan, tergelincir dan kedunguan. Sebab orang-orang yang
dahulu menyikapinya dengan ilmu, dan dengan pandangan yang tajam, mereka
menganggap cukup. Mereka adalah orang yang paling kuat dalam mengkaji, namun
mereka tidak mencari-cari. [6]
Kesimpulannya,
dalam pemahaman syari’at adalah bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan
ibadah harus semata-mata berdasarkan perintah (tauqifiyah), dan tidak
disyariatkan kecuali dengan nash yang ditentukan Allah sebagai hukumnya. Karena
terjaminnya ittiba dari membuat bid’ah dan menolak kekeliruan dan hal yang baru
diadakan. [7]
Diantara
contoh amaliah yang menguatkan kaidah ini adalah pendapat Imam Ibnu Katsir
Ad-Dimasyqi rahimahullah dalam tafsirnya (IV/401) ketika mendiskusikan tentang
menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an kepada orang-orang yang telah meninggal.
Beliau meyakini bahwa pahalanya tidak sampai, kemudian beliau berkata dalam
menjelaskan alasan larangan tersebut, “Sebab demikian itu bukan amal mereka dan
juga bukan usaha mereka. Karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak memerintahkan kepada umatnya, tidak menganjurkannya dan tidak membimbing
kepadanya dengan dalil maupun dengan isyarat. Dan tidak terdapat dalil tentang
hal itu dari seorang sahabatpun, semoga Allah meridhai mereka. Jika hal itu
baik niscaya mereka mendahului kita dengan amalan itu. Sesungguhnya masalah
ibadah hanya terbatas pada nash dan tidak berlaku qiyas maupun pendapat.
[Disalin dari kitab Al Ilmu Ushul Bida’ Dirasah Taklimiyyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, edisi Indonesia Membedah Akar Bid’ah, Penerjemah Asmuji Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar]
_________
Foote Note
[Disalin dari kitab Al Ilmu Ushul Bida’ Dirasah Taklimiyyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, edisi Indonesia Membedah Akar Bid’ah, Penerjemah Asmuji Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar]
_________
Foote Note
[1].
Inilah yang diungkapkan oleh sebagian ulama fiqih dengan istilah, hukum asal
dalam segala sesuatu adalah mubah.
[2].
HR Tirmidzi 2738, Hakim IV/265-266, Harits bin Usamah Al-Baghdadi dalam
Musnadnya 200 (Bughiyyah Al-Bahits dan Al-Mazzi dalam Tahdzib Al-Kamal VI/553
dengan sanad Hasan.
[3].
HR Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra II/466, Khatib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih
wal Mutafaqqih I/147, Abdurrazzaq III/52, Ad-Darimi I/116 dan Ibnu Nashr : 84
dengan sanad Shahih.
[4].
Qur’an surat An-Nuur : 63
[5].
HR Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqih I/148, Abu Nu’aim dalam
Al-hilyah VI/326, Al-Baihaqi dalam Al-Madhal : 236, Ibnu Baththah dalam
Al-Ibanah : 98 dan Abu Syamah dalam Al-Ba’its : 90 yang disandarkan kepada
Khallal
[6]. Al-Ibanah No. 163 dan Syarah Ushul As-Sunnah No. 16
[6]. Al-Ibanah No. 163 dan Syarah Ushul As-Sunnah No. 16
[7].
Marwiyyat Du’a Khatmil Qur’an 11-12 Syaikh Bakr Abu Zaid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar