Bismillaah...
Oleh :
Syaikh Prof.
Dr. M.M al A'zami
Kitab
suci agama Yahudi dan Kristen nyaris telantar oleh tangan orang-orang yang
semestinya diharapkan jadi pembela setia. Jika dalam bab-bab sebelumnya kita
bermaksud hendak membiasakan sikap kaum muslimin terhadap Al-Qur'an dan Sunnah,
karena penghargaannya, mungkin mereka kurang mampu menikmati kepuasaan
melainkan setelah membandingkan dengan Kitab Injil. Pembahasan secara mendasar
mengenai metode pendidikan umat Islam dirasa perlu-sebuah ilmu unik dan tak ada
yang menyaingi hingga hari ini serta amat penting dalam pemeliharaan Al-Qur'an
dan Sunnah berlandaskan iman sesuai dengan kehendak Allah Ta'ala
"Sesungguhnya Kami telah
turunkan Al-Qur'an, dan Kami akan memeliharanya"2
Karena
Al-Qur'an secara tegas menyebut adanya kerusakan kitab-kitab itu dari dalam,
maka komunitas Muslim merasakan betapa pentingnya memagari AI-Qur'an dari
segala pengaruh yang meragukan. Sepanjang sejarah Islam para penghafal
Al-Qur'an, huffaz, memiliki keutuhan tekad menyimpan isi kitab
Al-Qur'an sepenuhnya ke dalam hati yang jumlahnya mencapai jutaan sejak
kelompok remaja hingga orang tua, jadi tulang punggung dalam pemeliharaan ini;
suatu keadaan yang tak pernah terjadi pada Kitab Taurat dan Injil dan bahkan
sikap kehati-hatian tidak terhenti sebatas itu.
Menulis
sebuah buku dengan nama samaran adalah teramat mudah, apa lagi dalam dunia
literatur penggunaan nama pena sudah jadi masalah yang lumrah. Demikian pula,
suatu hal yang mungkin terjadi mengubah karya orang lain yang kemudian
diterbitkan kembali atas nama pengarang sesungguhnya.
Masalahnya, bagaimana kejahatan perbuatan seperti itu dapat dicegah? Dalam mencari jawaban, kaum Muslimin telah merancang solusi sejak dahulu, membuat satu sistem yang tahan uji dan telah beroperasi selama delapan atau sembilan abad; hanya karena melemahnya Islam di pentas politik, sistem itu terhenti dan bahkan cenderung terabaikan. Mengkaji ulang sistem ini berarti memasuki wilayah sentral tentang proses belajar dan mengajar tentang ilmu Islam.
1. Kehausan Sumber Informasi
Sebelum
Islam muncul, tak ada sumber yang mencatat akan adanya buku bahasa Arab di
semenanjung Arabia. Sebenarnya Al-Qur'an merupakan buku pertama berbahasa Arab
di mana iqra' (berarti: bacalah!) merupakan pembuka kata yang diwahyukan.
Dengan silabe ungkapan itu menandai bahwa pencarian ilmu telah menjadi satu
kemestian: menghafal sekurang-kurangnya beberapa surah terlepas apakah ia orang
Arab atau bukan guna melaksanakan shalat sehari semalam. Sejarah juga mencatat,
saat Rasulullah sampai di Madinah, beliau segera memenuhi keperluan ini
mengatur pedidikan3 dan minta setiap yang berilmu walau masih minim (ballighu
`anni walaw ayah) agar menyampaikan pada yang lain. Enam puluh penulis
wahyu yang bekerja di bawah pengawasan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alahi wasalam.
dijadikan upeti dalam memerangi kejahilan.4
Di
zaman kekuasaan para Khalifah, terutama tiga orang pertama sehingga tahun 35
hijrah, Madinah berfungsi sebagai pusat agama, militer, ekonomi, dan
administrasi negara Islam yang pengaruhnya merebak hingga menembus sejak dari
Afghanistan ke Tunisia, Turki selatan hingga Yaman, dan Muscat hingga ke Mesir.
Arsip-arsip yang begitu banyak mengenai segi-segi pemerintahan dibangun,
dikelompokkan, dan disimpan di Bayt al-Qaratis (rumah arsip)5 pada masa pemerintahan `Uthman. Ilmu administrasi, hukum keagamaan,
strategi politik dan kemiliteran, serta semua hadith Nabi disampaikan
pada generasi penerus melalui sistem yang sedemikian unik.6
2. Hubungan Pribadi: Unsur Penting dalam Sistem Pengajaran
Waktu
merupakan referensi penting dalam semua kejadian: dahulu, kini, dan mendatang.
Waktu sekarang secara otomatis akan menjadi bagian dari masa lampau; yang baik
saja berlalu, ia akan hilang begitu saja. Kebanyakan peristiwa masa lampau akan
lepas dari genggaman dan bahkan tak mungkin dapat diraba, dan jika peristiwa
itu mendekat pada kita secara tidak langsung (seperti melalui bahan tertulis),
maka akurasi berita akan jadi puncak perhatian kita. Saat Rasulullah Shalallahu
‘alahi wasalam memasuki episode sejarah, pemeliharaan Kitab Al-Qur'an dan
Sunnah menjadi tanggung jawab para sahabat, di mana komunitas Muslim mampu
membuat satu konstruksi keilmuan yang begitu njelimet dalam mengurangi
ketidakpastian yang menjadi sifat dari sistem pengalihan ilmu pengetahuan.
Sistem ini didasarkan pada hukum kesaksian.
Pikirkanlah
pernyataan sederhana ini: A meneguk air dari cangkir saat ia berdiri. Walaupun
kita tahu keberadaan orang tersebut namun guna mengesahkan kebenarannya, hanya
dengan mengandalkan penalaran otak dirasa tidak memungkinkan. Barangkali A
tidak minum air sama sekali, atau mungkin minum dengan menelengkupkan tangan,
bahkan mungkin melakukannya sewaktu ia duduk; semua kemungkinan itu tidak dapat
dimasukkan sekadar melalui kesimpulan. Maka, permasalahan yang ada tergantung
pada sikap kejujuran pembawa berita serta ketelitian seorang yang mengamati.
Oleh sebab itu, C, seorang pendatang baru yang tidak tahu duduk masalahnya,
untuk melacak berita itu ia akan berpijak pada cerita saksi mata B. Guna
melaporkan kejadian itu pada pihak lain, C harus menentukan sumber berita
sehingga kejujuran pernyataan di atas akan bergantung pada :
- Ketelitian B dalam mengamati kejadian, dan kebenarannya dalam membuat laporan.
- Ketelitian C dalam memahami informasi serta kebenarannya dalam menceritakan pada yang lain.
Membuat
spekulasi kehidupan pribadi B dan C pada umumnya tidak menarik minat para
pakar kritik dan sejarah, namun para ilmuwan Muslim melihat permasalahan yang
ada dari sisi pandangan yang berbeda. Menurut pendapat mereka, seseorang yang
membuat pernyataan mengenai A sebenarnya sedang membuat kesaksian terhadap apa
yang telah dilakukannya. Demikian juga, C sebenarnya membuat kesaksian terhadap
perilaku B, dan seterusnya, di mana setiap orang membuat kesaksian terhadap
pendahulu yang tergabung dalam jaringan mata rantai riwayat. Dengan memberi
pengesahan terhadap laporan tersebut berarti membuat kajian kritis terhadap
semua pihak yang tergabung dalam rangkaian riwayat.
3. Permulaan dan Perkembangan Sistem Isnad.
Metode
ini merupakan genetika lahirnya sistem isnad. ia bermula sejak zaman
Rasulullah yang kemudian merebak menjadi ilmu tersendiri pada akhir abad
pertama hijrah. Dasar tatanan ilmu ini berpijak pada kebiasaan para sahabat
dalam transmisi hadith di kalangan mereka. Sebagian mereka membuat
kesepakatan menghadiri majelis Rasulullah Shalallahu ‘alahi wasalam secara
bergiliran, memberi tahu apa yang telah mereka dengar dan saksikan;7 dalam memberitakan tentunya mereka harus menyebut,
"Rasulullah Shalallahu ‘alahi wasalam melakukan ini dan itu" atau
"Rasulullah Shalallahu ‘alahi wasalam mengatakan ini dan itu." Dan,
tentunya wajar jika orang itu mendapat informasi dari tangan ke dua, ketika ia
menceritakan pada orang ke tiga, ia akan menjelaskan sumber aslinya mencakup
semua cerita yang terjadi.
Pada
dasawarsa ke empat kalender Islam, ungkapan-ungkapan yang belum sempurna dirasa
penting karena munculnya fitnah yang melanda pada saat itu
(pemberontakan terhadap Khalifah Uthman yang terbunuh pada tahun 35 hijrah).
Ungkapan itu sebagai langkah awal sikap kehati-hatian para ilmuwan yang mulai
sadar dan tetap ingin menyelidiki setiap sumber informasi.8 Ibn Sirin (w. 110 H.), misalnya, mengatakan, "Para
ilmuwan (pada mulanya) tidak mempersoalkan isnad, tetapi saat fitnah mulai
meluas mereka menuntut, 'Sebutkan nama orang-orang kalian [para pembawa riwayat
hadith] pada kami.' Bagi yang termasuk ahlus sunnah, hadith mereka
diterima, sedang yang tergolong tukang mengada-ada (bid’ah), hadith mereka
dicampakkan ke pinggiran."9
Menjelang
abad pertama, kebiasaan ini mulai mekar yang akhirnya menjadi cabang ilmu
tersendiri. Kemestian mempelajari Al-Qur'an dan Sunnah memberi arti bahwa sejak
beberapa abad perkataan `ilm (ilmu), hanya diterapkan pada kajian di bidang
keagamaan,10 dan dalam masa yang penuh ghirah mempelajari ilmu hadith
telah melahirkan tradisi al-rihlah (piknik pencarian ilmu). Karena dianggap
sebagai salah satu syarat utama di bidang keilmuan, kita dapat menyimak makna
penting dari ucapan Ibnu Ma'in (w. 233 H) yang menyebut bahwa siapa saja yang
mengurung diri belajar ilmu di negeri sendiri dan enggan berpikir ke luar, ia
tidak akan mencapai kematangan ilmu.11
Bukti
adanya pengalihan 'ilm melalui cara seperti ini datang dari ribuan
hadith yang memiliki ungkapan-ungkapan yang sama tetapi bersumber dari belahan
dunia Islam yang berlainan, yang masing-masing melacak kembali asal-usulnya
yang bermuara pada sumber yang sama, yaitu Rasulullah Shalallahu ‘alahi wasalam,
Sahabat, dan Tabi'in. Kesamaan isi kandungan yang menyebar melintasi jarak
jauh, di suatu zaman yang minus alat komunikasi canggih, memberi
kesaksian kebenaran akan kiat sistem isnad.12
i. Fenomena Isnad dan Pemekarannya
Pemekaran
sistem isnad pada permulaan abad Islam begitu menggiurkan. Anggaplah
bahwa pada generasi pertama seorang sahabat saja yang secara pribadi mendengar
pernyataan Rasulullah Shalallahu ‘alahi wasalam. Pada generasi kedua
kemungkinan terdapat dua atau tiga dan bahkan mungkin sepuluh orang, murid-murid
pertama dalam mengalihkan kejadian, sehingga apabila sampai pada generasi ke
lima (yaitu periode para penyusunan kitab-kitab hadith klasik) kita mungkin
dapat menyingkap tiga puluh atau empat puluh orang meriwayatkan berita yang
sama melalui saluran yang berlainan melintasi ke seluruh dunia Islam, dengan
sedikit di antara mereka yang meriwayatkan berita itu melalui lebih dari satu
sumber. Bentuk penyebaran seperti itu tidak selalu tetap pada semua hadith: di
mana dalam masalah seperti ini mungkin hanya ada satu orang yang memiliki
wewenang meriwayatkan pada tiap generasi, walaupun hal itu sangat jarang.13 Di sini kita dapat lihat satu contoh hadith mengenai shalat:14
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa
Rasulullah Shalallahu ‘alahi wasalam bersabda: "Imam haruslah diikuti.
Bacalah takbir apabila ia mengucap takbir, rukulah apabila ia ruku. Dan apabila
ia mengucapkan sami 'allahu liman hamidah (Allah mendengar orang yang
memujiNya), bacalah rabbana wa laka al-hamd (Ya Allah ya Tuhan kami,
segala pujian hanyalah untuk-Mu). Lalu apabila ia sujud, hendaklah anda
bersujud. Dan apabila ia bangkit berdiri, hendaklah kamu juga bangkit, tapi
jangan sekali-kali mendahului sebelum ia berdiri sempurna. Jika ia shalat
duduk, hendaklah kamu juga duduk semuanya."
Hadith ini, tercatat sekurangnya 124 kali dan diriwayatkan
oleh 26 pakar generasi ketiga yang semuanya melacak keaslian hadith itu sampai
kepada para Sahabat Nabi Muhammad Shalallahu
‘alahi wasalam
dalam bentuk hadith serupa, atau yang memiliki makna yang sama, hadith ini
ditemukan di sepuluh tempat secara serentak: Madinah, Mekah, Mesir, Basrah,
Hims, Yaman, Kufah, Suriah, Wasit (Irak) dan Thaif. Tiga dari 26 ulama mendapat
riwayat itu lebih dari satu sumber. Dokumentasi yang masih ada menunjukkan
bahwa hadith ini diriwayatkan oleh sekurangnya sepuluh orang Sahabat; perincian
jaringan transmisi, tujuh dari sepuluh ulama yang ada, yang pernah tinggal di
Madinah, Suriah dan Irak, ada pada kita.
Dengan kita batasi pada seorang Sahabat, Abu Hurairah, kita
temukan sekurang-kurangnya tujuh orang muridnya yang meriwayatkan hadith
tersebut; empat di antaranya menetap di Madinah, dua di Mesir, dan satu di
Yaman. Pada gilirannya mereka juga menyampaikan kepada sekurang-kurangnya dua
puluh orang lain: lima dari Madinah, dua dari Mekah, masing-masing seorang dari
Suriah, Kufah, Thaif, Mesir, dan Yaman. Contoh serupa dari sahabat lain yang
juga menunjukkan bahwa hadith tersebut keberadaannya ditemukan di belahan
tempat lain (Basrah, Hims, dan Wasit) walau dapat bertemu kembali di Madinah,
Mekah, Kufah, Mesir, dan Suriah. Gambar berikut ini menggambarkan banyaknya
jaringan riwayat tersebut sudah tentu hanya satu dari puluhan ribu hadith yang
ada.
(Sumber : Syaikh Prof. Dr. M.M al A'zami, The History of The Qur'anic
Text hal 183 – 190, )
Biografi Beliau :
Syaikh Prof. Dr. M.M al A'zami, beliau adalah Spesialis penakluk
tesis kaum orientalis. Predikat itu tepat disematkan pada sosok Syaikh Prof. Dr.
Muhammad Mustafa al-A'zami, 73 tahun, beliau guru besar ilmu hadist
Universitas King Saud, Riyadh, Arab Saudi. Beliau adalah seorang pendekar hadis
dari India (The Knight of India). Beliau lahir di kota Mano, Azamgarh Uttar
Pradesh, India Utara, pada tahun 1932. Kata Azami atau al-A'zhami adalah nisbah
kepada daerah Azamgarh. Sikapnya yang kritis terhadap pemikiran para Orientalis
(al-Mustasyriqin) sampai-sampai ada yang memberinya gelar (laqob) The Knight of
India yang berarti 'Pendekar dari India'.
Pada tahun 1973, beliau
pindah ke Riyadh untuk mengajar di Departemen Studi Islam, Fakultas Tarbiyah,
Universitas Riyadh (sekarang bernama Universitas King Sa'ud). Di kota inilah,
bertepatan tahun 1400 H/1980 M, reputasi ilmiyah Syaikh Prof. M.M. Azami
meningkat sedemikian rupa setelah beliau berhasil memenangkan Hadiah
Internasional Raja Faisal untuk Studi Islam dari Lembaga Hadiah Yayasan Raja
Faisal di Riyadh. Kini Syaikh Azami tinggal di Perumahan Dosen Universitas King
Saud, Riyadh, sebagai Guru Besar Hadist dan Ilmu Hadist di Universitas
tersebut.
Pada tahun 1963 Beliau telah
menagkis pikiran-pikiran Orientalis Ignaz Goldziher yang meragukan otentisitas
Hadist, maka Syaikh Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami dalam disertasinya telah
membabat habis semua pikiran-pikiran mereka. Secara komprehensif, Beliau telah
mematahkan argumen-argumen Orientalis serta merobohkan teori-teorinya.
Mereka, para Orientalis
seperti Robson, Wensicnk, Guillaume, Sachau, dan lain-lain, terutama sekali
Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, tidak luput dari serangan balik yang
dilancarkan kembali oleh Syaikh Prof. M.M Azami. Adapun Orientalis yang paling
parah dihajar Syaikh Prof. M.M Azami adalah Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht,
karena dua komandan ini dinilai yang paling berpengaruh dalam hal pembabatan
Hadist Nabi, baik di kalangan Orientalis sendiri maupun di kalangan Cendekiawan
Muslim (murid2 orientalis).
--------------------------
Foot Note :
1. Bab ini sifatnya rada khusus; tujuan utamanya adalah
memberikan gambaran bagaimana ilmuwan Muslim membangun konstruksi sistem yang
unik dalam meriwayatkan ilmu, yang bermanfaat dalam mcnilai ketelitian
informasi dan memagarinya dari faktor yang merusak baik dari dalam maupun dan
luar. Ini sebcnarnya hanyalah satu diskusi ringkas, dan siapa yang tertarik
dengan topik ini disarankan agar membaca buku saya yang akan terbit, Islamic
Studies: What Methodology? (Studi Islam: Apa Metodologinya?). Sudah tentu
ada di antara pembaca yang melihat bab ini sebagai hal yang membosankan dan
bagi yang bcrminat, dapat memilih kesimpulan bab ini. Memang hal itu tidak
menghalangi pemahaman bab-bab sclanjutnya.
2. Qur'an Al Hijr Ayat: 9.
3. Untuk detail lagi lihat M.M. al-A'zami, Studies in Early Hadith
Literature, hlm. 183-199; alA'zami, Studies in Hadith Methodology and
Literature, American Trust Publication, Indianapolis, 1977, hlm. 9-31.
4. Lihat M.M. al-A'zami, Kuttab an-Nabi, edisi ke 3,
Riyad, 1401 (1981). Karya ini adalah kajian terperinei mengenai para penulis
dan penyalin yang bekerja untuk Nabi.
5. Al-Baladhuri, Ansab al-Ashraf, I: 22. Tampaknya
tempat itu terletak bersebelahan dengan rumah `Uthman, di mana Marwan
menyembunyikan diri ketika Khalifah itu terbunuh.
6. Lihat contohnya, Surat-surat Khalifah Kedua `Umar,
`Abdur-Razzaq as-San'ani, Musannaf, contohnya: jlid. 1, hlm. 206-291, 295-6,
535, 537; jld. 7, hlm. 94, 151, 175, 178, 187, 210,...d11. Untuk perincian
seterusnya lihat al-A'zami, "Nash'at al-Kitabah al-Fiqhiyyah",
Dirasat, II/2: 13-24.
7. Al-Bukhari, Sahih, Bab at-Tanawub fi al-'Ilm.
8. Penelitian terbaru oleh Dr. `Umar bin Hasan Fallata
menunjukkan bahwa bahkan sampai tahun 60 H. sangat sukar ditemukan hadith palsu
atas nama otoritas Nabi [al-Wad'u ti aL-Hadith, Beirut, 1401 (1981).
9. Muslim, Sahih, Mukadimah, hlm. 15; lihat juga
al-A'zami, Studies in Early Hadith Literature, hlm. 213.
10. Al-A'zami, Studies in Early Hadith Literature, hlm.
183.
11 Al-Khatib,
ar-Rihlah, Damaskus, 1395 (1975), hlm. 89.
12. Al-A'Zami, Studies in Early Hadith Literature, hlm.
15, hadith no. 3 (Seksi Arab). Tidak semua hadith tersebar begitu cepat. Namun
di sisi lain ribuan buku juga telah hilang yang mungkin bisa jadi saksi
mengenai penyebaran informasi yang lebih luas lagi.
13. Untuk kajian yang lebih rinci mengenai 50 hadith , lihat
Studies in Early Hadith Literature, hlm. 14-103 (Seksi Arab).
14. Ibid., hlm. 27-31.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar