Bismillaah…
Pluralisme
Agama
Paham
pluralisme itu memang sesuatu yang aneh, rancu dan kontradiktif (paling tidak
bagi Islam). Kalau pluralisme mengatakan semua agama benar, tentunya ia pun harus
mengakui kebenaran agama yang menyatakan bahwa hanya ia satu-satunya agama yang
benar. Kalau si pluralis itu tidak mau mengakui ajaran agama itu berarti ia
menolak paham pluralisme itu sendiri. Sedang jika ia menerima ajaran agama
seperti itu, berarti ia pun melanggar paham pluralisme. Jadi, tidak bisa tidak,
anda harus memilih salah satunya, berpegang dengan pluralisme atau berpegang
dengan agama Islam. Dan kaum liberalis memilih pluralisme, dus melepaskan Islam.
jika
ditelaah sepintas saja, kita akan menjumpai berbagai paradoks dan kerancuan
dalam pemikiran-pemikiran yang disajikan. Sebagai contoh, tertulis: “Dalam
diskursus pluralisme agama, penjelasan tentang transendensi Ilahi ini dan bahwa
setiap agama lahir dan terikat pada konteks tertentu menjadi argumen bahwa
tidak ada agama yang lebih tinggi/sempurna atas yang lain. Semua bentuk-bentuk
agama adalah sederajat, karena semuanya sedang mewadahi ke-Mahabenaran dan
ke-Mahamutlakan Tuhan.”
Itulah salah satu
keganjilan pemikiran pluralisme agama. Mereka menolak “klaim kebenaran” dari
masing-masing pemeluk agama, tetapi pada saat yang sama mereka justru menolak
keberagaman. Mereka memaksa semua pemeluk agama melepaskan klaim kebenarannya
masing-masing lalu dipaksa berpindah menuju satu keyakinan, bahwa “semuanya
benar”, sebagaimana paham kaum pluralis tersebut. Bukankah ini satu sikap yang
paradoks dan justru anti-pluralisme!
Logikanya, jika ia
mengakui kebenaran semua agama, aliran, atau paham, seharusnya dia juga
mengakui kebenaran paham para penganut agama yang meyakini kebenaran agamanya
sendiri (bersikap eksklusif). Tetapi, anehnya, kita banyak menjumpai berbagai
kecaman terhadap orang-orang yang tidak sejalan dengan pemikiran pluralisme.
Kita balik bertanya,
jika orang hanya mengakui paham Pluralisme saja yang benar, dan menyerang paham
yang berbeda dengannya, bukankah orang itu juga berpandangan sempit? Seorang
“pluralis sejati”, seharusnya bersikap permisif terhadap semua paham dan agama,
karena semuanya dianggap benar! Terbuktilah, logika kaum pluralis ini memang
mau menang sendiri dan asal-asalan: merasa benar sendiri dengan pendapatnya,
tetapi menyalahkan umat beragama yang meyakini kebenaran agamanya sendiri!
Dan biasanya untuk mendukung klaimnya orang pluralisme
mengutip tiga bait puisi Ibn Arabi dalam karya
kontroversialnya, Tarjuman al-Asywaq, yang berbunyi: “Hatiku telah mampu
menerima aneka bentuk dan rupa; ia merupakan padang rumput bagi menjangan,
biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala, ka‘bah tempat orang bertawaf,
batu tulis Taurat, dan mushaf bagi al-Qur’an. Agamaku adalah agama cinta, yang
senantiasa kuikuti kemana pun langkahnya; demikianlah agama dan keimananku.”
Benarkah klaim2 mereka yang disandarkan kepada
Ibn Arabi ?
Dr. Syamsuddin Arif dengan bukunya yang berjudul “Pluralisme” dan
Manipulasi Orientalis.” Oleh kaum Pluralis, Ibn Arabi ‘dijadikan bemper’ untuk
melegitimasi asumsi para penganut ‘agama perennial’ (religio perennis) bahwa
dalam aspek esoteris dan pada dataran transenden, semua agama adalah sama,
karena semuanya sama benarnya, sama sumbernya (Tuhan), dan sama misinya (pesan
moral, perdamaian, dsb). Pemahaman semacam ini dipopulerkan oleh F. Schuon,
S.H. Nasr, W.C. Chittick dalam tulisan-tulisan mereka yang kini tampak mendapat
banyak pengikut di Indonesia.
Sebenarnya, Ibnu Arabi telah menjelaskan maksud
semua ungkapannya dalam syarah yang ditulisnya sendiri, yaitu Dzakha’ir
al-A‘laq syarh Tarjuman al-Asywaq (ed. Dr. M.‘Alamuddin asy-Syaqiri, Cairo: Ein
for Human and Social Studies, 1995, hlm.245-6).
Di situ dinyatakan bahwa yang ia maksudkan dengan
‘agama cinta’ adalah agama Nabi Muhammad
Shalallahu ‘alaihi wasalam., merujuk kepada firman Allah dalam al-Quran
3 (Ali Imran):31, “Katakanlah [hai Muhammad!], kalau kalian betul-betul
mencintai Allah, maka ikutilah aku! --niscaya Allah akan mencintai kalian.”
Dalam kitab Futuhat-nya (bab 178, fi Maqam
al-Mahabbah), Ibn Arabi menyatakan bahwa cinta kepada Tuhan harus dibuktikan
dengan mengikuti syari‘at dan sunnah Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wasalam (al-ittiba‘
li-rasulihi shalallahu alaihi wasalam fima syara‘a). Jadi, ‘agama cinta’ yang
dimaksud Ibn Arabi adalah Islam, yaitu agama syari‘at dan sunnah Nabi Muhammad
Shalallahu alaihi wasalam, dan bukan ‘la religion du coeur’ versi Schuon dan
para pengikutnya itu.
Menurut Ibn Arabi, semua agama dan kitab suci terdahulu harus diakui kebenarannya dalam konteks sejarah masing-masing -- yakni sebelum diutusnya Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasalam. muncul. Dan ini merupakan bagian dari rukun iman. Validitas itu tidak berlanjut setelah kedatangan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam. “Nabi Isa pun, seandainya sekarang ini turun, niscaya tidak akan mengimami kita, kecuali dengan mengikut sunnah kita [Ummat Muhammad], dan tidak akan memutuskan suatu perkara kecuali dengan syari‘at kita.” (Wa hadza ‘Isa idza nazala ma ya’ummuna illa minna, ay bi sunnatina, wa la yahkumu fina illa bi syar‘ina),” tegas Ibn Arabi (Lihat: Futuhat, bab 36).
Sikap Ibn Arabi tentang konsep mukmin-kafir juga
jelas. Orang Yahudi atau Nasrani yang masuk Islam tidak dikatakan murtad,
karena ajaran murni agama mereka memang mengharuskan beriman mengikuti ajaran
Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasalam. (Futuhat, bab 495, fi Ma‘rifati hal
quthb kana manziluhu “wa man yartadid minkum ‘an dinihi fayamut wa huwa kafir”).
Demikian hasil kajian Dr. Syamsuddin Arif tentang
konsep agama Ibn Arabi yang berbeda dengan cara pandang kaum sepilis (sekular, pluralis
dan liberalis) yang sudah beriman secara bulat-bulat kepada teori
Transendentalisme Fritjoph Schuon.
Wallahu ‘alam Bishawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar