Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
Ada dua sudut pandang terhadap kehidupan dunia.
Pertama : Pandangan Materialistis, dan Kedua : Pandangan Yang Benar.
Masing-masing pandang tersebut memiliki pengaruhnya sendiri.
[A]. Makna Pandangan Materialistis Terhadap Dunia
Yaitu pemikiran seseorang yang hanya terbatas
pada bagaimana mendapatkan kenikmatan sesaat di dunia, sehingga apa yang
diusahakannya hanya seputar masalah tersebut. Pikirannya tidak melampui hal
tersebut, ia tidak mempedulikan akibat-akibatnya, tidak pula berbuat dan
memperhatikan masalah tersebut. Ia tidak mengetahui bahwa Allah menjadikan
dunia ini sebagai ladang akhirat. Allah menjadikan dunia ini sebagai kampung
beramal dan akhirat sebagai kampung balasan. Maka barangiapa mengisi dunianya
dengan amal shalih, niscaya ia mendapatkan keberuntungan di dua kampung
tersebut. Sebaliknya barangsiapa menyia-nyiakan dunianya, niscaya ia akan
kehilangan akhiratnya.
Allah berfirman.
“Artinya : Rugilah ia di dunia dan di akhirat.
Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata” [Al-Hajj : 11]
Allah tidak menciptakan dunia ini untuk
main-main, tetapi Allah menciptakannya untuk suatu hikmah yang agung. Allah berfirman.
“Artinya : Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”. [Al-Mulk : 2]
“Artinya : Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa
yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah
di antara mereka yang terbaik perbuatannya” [Al-Kahfi : 7]
Demikianlah, Allah menjadikan di atas dunia ini
berbagai kenikmatan sesaat dan perhiasan lahiriyah, baik berupa harta,
anak-anak, pangkat, kekuasaan dan berbagai macam kenimatan lain yang tidak
mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Di antara manusia –dan jumlah mereka mayoritas-
ada yang menyempitkan pandangannya hanya pada lahiriyah dan
kenikmatan-kenikmatan dunia semata. Mereka memuaskan nafsunya dengan berbagai
hal tersebut dan tidak merenungkan rahasia di balik itu. Karenanya, mereka
sibuk untuk mendapatkan dan mengumpulkan dunia dengan melupakan amal untuk
sesudah mati. Bahkan mereka mengingkari adanya kehidupan selain kehidupan
dunia, sebagaimana firman Allah.
“Artinya : Dan tentu mereka akan mengatakan
(pula), hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita sekali-kali tidak
akan dibangkitkan” [Al-An’am : 29]
Allah mengancam orang yang memiliki pandangan
seperti ini terhadap dunia, sebagaimana firmanNya.
“Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tentram dengan kehidupan dunia itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah Neraka, disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan” [Yunus : 7-8]
“Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tentram dengan kehidupan dunia itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah Neraka, disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan” [Yunus : 7-8]
“Artinya : Barangsiapa menghendaki kehidupan
dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan perkerjaan
mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.
Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali Neraka dan
lenyaplah di akhirat apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa
yang telah mereka kerjakan” [Hud :15-16]
Ancaman di atas berlaku bagi semua yang memiliki
pandangan materailistis tersebut, mereka yang memiliki amal akhirat, tetapi
menghendaki kehidupan dunia, seperti orang-orang munafik, orang-orang yang
berpura-pura dengan amal perbuatan atau orang-orang kafir yang tidak percaya
terhadap adanya kebangkitan dan hisab (perhitungan amal). Sebagaimana keadaan
orang-orang Jahiliyah dan aliran-aliran destruktif (merusak) seperti
kapitalisme, komunisme, sekulerisme dan atheisme. Mereka adalah orang-orang
yang tidak mengetahui nilai kehidupan dan pandangan mereka terhadap dunia tidak
lebih dari pandangan binatang, bahkan lebih sesat dari binatang. Sebab mereka
menafikal akal mereka, menundukkan kemampuan mereka dan menyia-nyiakan waktu
mereka yang tidak akan kekal untuknya, juga mereka tidak melakukan amalan untuk
tempat kembali mereka yang telah menunggu, dan mereka pasti menuju kesana.
Adapun binatang, maka tidak ada tempat kembali yang menunggunya, juga tidak
memiliki akal untuk berfikir seperti manusia, karena itu Allah berfirman
tentang mereka.
“Artinya : Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)” [Al-Furqan : 44]
“Artinya : Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)” [Al-Furqan : 44]
Allah menyifati orang-orang yang memiliki
pandangan ini dengan sifat tidak memiliki ilmu.
Allah berfirman.
Allah berfirman.
“Artinya : Akan tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia,
sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai” [Ar-Rum : 6-7]
Meskipun mereka ahli di bidang berbagai penemuan
dan industri, tetapi pada hakikatnya mereka adalah orang-orang bodoh yang tidak
pantas mendapatkan julukan alim, sebaba ilmu mereka tidak lebih dari ilmu
lahiriyah kehidupan dunia, sedangkan ia adalah ilmu yang dangkal, sehingga
memang tidak selayaknya para pemiliknya mendapat gelar mulia, yakni gelar
ulama, tetapi gelar ini diberikan kepada orang-orang yang mengenal Allah dan
takut kepadaNya, sebagaimana firmanNya.
“Artinya : Sesungguhnya yang takut kepada Allah
di antara hamba-hambaNya hanyalah ulama” [Fathir : 28]
Termasuk pandangan materialistis terhadap
kehidupan dunia ini adalah apa yang disebutkan Allah dalam kisah Qarun dan
kekayaan yang diberikan kepadanya.
Allah befirman.
“Artinya : Maka keluarlah Qarun kepada kaummnya
dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia.
‘Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun
sesunggunya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar” [Al-Qashash :
79]
Mereka mengangan-angankan dan menginginkan
memiliki kekayaan seperti Qarun seraya menyifatinya telah mendapatkan
keberuntungan yang besar, yakni berdasarkan pandangan mereka yang
materialistis. Hal ini seperti keadaan sekarang di negara-negara kafir yang
memiliki kemajuan di bidang teknologi industri dan ekonomi, lalu umat Islam
yang lemah imannya memandang mereka dengan pandangan kekaguman tanpa melihat
kekufuran mereka serta apa yang bakal menimpa mereka dari kesudahan yang buruk.
Pandangan yang salah ini lalu mendorong mereka mengagungkan orang-orang kafir
dan memuliakan mereka dalam jiwa mereka serta menyerupai mereka dalam tingkah
laku dan kebiasaan-kebiasaan mereka yang buruk. Ironinya, mereka tidak meniru
dalam kesemangatan mereka dalam mempersiapkan kekuatan serta hal-hal bermanfaat
lainnya, misalnya di bidang penemuan-penemuan dan teknologi.
[B] Pandangan Yang Benar Terhadap Kehidupan
[B] Pandangan Yang Benar Terhadap Kehidupan
Yaitu pandangan yang menyatakan bahwa apa yang
ada di dunia ini, baik harta kekuasaan dan kekuatan materi lainnya hanyalah
sebagai sarana untuk amal akhirat. Karena itu, pada hakikatnya dunia bukanlah
tercela karena dirinya, tetapi pujian atau celaan itu tergantung pada perbuatan
hamba di dalamnya. Dunia ini adalah jembatan penyebrangan menuju akhirat dan
daripadanya bakal menuju Surga. Dan kehidupan baik yang diperoleh penduduk
Surga tidak lain kecuali berdasarkan apa yang telah mereka tanam ketika di
dunia. Maka dunia adalah kampung jihad, shalat, puasa, dan infak di jalan
Allah, serta medan laga untuk berlomba dalam kebaikan. Allah berfirman kepada
penduduk Surga.
“Artinya : (Kepada mereka dikatakan), ‘Makan dan
minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari
yang telah lalu (ketika di dunia)” [Al-Haqqah : 24]
[Disalin dari kitab At-Tauhid Lish-Shaffits Tsalis
Al-Ali, edisi Indonesia Kitab Tauhid-3, Penulis Dr Shalih bin Fauzan bin
Abdullah Al-Fauzan, Penerjemah Ainul Harits Arifin Lc, Penerbit Darul Haq]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar