Selasa, 08 Januari 2013

Kisah perjalanan dakwah Asy Syaikh Rabi’ bin Hadi ‘Umair Al Madhkhali


Bismillaah

Kisah perjalanan dakwah Asy Syaikh Rabi’ bin Hadi ‘Umair Al Madhkhali


Inilah sepenggal kisah perjalanan dakwah Asy Syaikh Rabi’ bin Hadi ‘Umair Al Madhkhali hafidzahullah di Sudan yang sepatutnya kita jadikan teladan. Beliau hafidzahullah mengisahkan:

(Sekarang) akan saya ceritakan perjalanan dakwah saya ke Sudan. Saat itu saya singgah di Port (bandara) Sudan. Saya disambut para pemuda Jama’ah Ansharus Sunnah. Mereka memberi masukan: “Ya Syaikh, bolehkah kami menyampaikan beberapa saran kepada anda?” “Silahkan!” kataku.

Mereka berkata: “Wahai Syaikh, silakan anda berceramah sesuai kehendak anda dengan (mengutip) firman Allah dan sabda Nabi-Nya, tidak mengapa engkau sebutkan berbagai jenis bid’ah dan kesesatan, baik kaitannya dengan doa kepada selain Allah, menyembelih, nadzar, istighatsah (minta tolong) kepada selain-Nya. Tapi sebaiknya engkau tidak menyinggung thariqah tertentu atau syaikh fulan! Jangan sampai engkau mengatakan bahwa Tijaniyyah atau Bathiniyyah adalah kelompok sempalan yang sesat. Jangan pula engkau mencaci tokoh-tokohnya, (kami rasa) cukup engkau sebutkan perkara-perkara aqidah (secara umum), niscaya akan engkau dapati mereka menerima al haq dari apa yang engkau sampaikan.”

Saya katakan kepadanya: “Baiklah.”

Akhirnya saya ikuti anjuran mereka. Ternyata saya menyaksikan sambutan yang cukup besar dari kaum muslimin terhadap dakwah ini.

Wahai para penuntut ilmu, kalian jangan menyangka bahwa termasuk dari kesempurnaan manhaj yang benar ini adalah keharusan mencaci maki (tokoh penyesat). Tidak! Bahkan Allah berfirman:

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (Al An’am: 108)

Kalau kalian mencerca syaikh fulan atau kau katakan: “Fulan sesat!” Atau julukan-julukan lainnya atau kalian katakan: “Thariqah fulan sesat!” justru yang demikian ini hanya akan membuat umat lari menjauh darimu. Akhirnya kalian berdosa lantaran kalian telah menjauhkan manusia dari dakwah yang benar, kalian munaffirun (membuat orang lari).

Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala mengutus Mu’adz dan Abu Musa radhiyallahu ‘anhuma ke Yaman beliau berpesan kepada keduanya:

Hendaklah kalian permudah dan jangan mempersulit, gembirakan mereka jangan kalian membuat mereka lari!

Inilah metode dakwah, di dalamnya ada kemudahan, kabar gembira dan tidak ada hal yang membuat orang lari darinya.

Demi Allah, tidaklah aku masuk suatu masjid kecuali aku melihat wajah mereka berseri-seri sehingga aku tidak bisa keluar dari kerumunan massa yang berebut berjabat tangan serta mendoakan kebaikan untukku.
Ternyata para syaithan dari pentolan-pentolan thariqah shufiyyah melihat cara dakwah yang saya tempuh ini sebagai ancaman yang berbahaya.

Akhirnya tokoh-tokoh tersebut berkumpul dan berunding untuk merumuskan bantahan-bantahan terhadap ceramah saya.


Mereka memintaku untuk memberi ceramah di sebuah tanah lapang. Saya penuhi permintaanya. Akupun berceramah hingga selesai.

Giliran pembesar mereka bangkit (setelahku) dan mengomentari ucapanku yang tadi. Mulailah orang ini mengutarakan pendapatnya tentang bolehnya beristighatsah kepada selain Allah, bertawassul (membuat perantara) dengan mayit, men-tha’thil (mengingkari) sifat-sifat Allah dan ucapan bathil lainnya … Mereka kemas semua ucapan bathil dengan takwil-takwil yang menyimpang dan keji.

Usai dia berbicara -namun tidak menyertakan dasar dalilnya, yang ada hanyalah hadits-hadits dhaif dan palsu atau nukilan dari ucapan Socrattes – maka aku katakan kepada hadirin:

“Apakah hadirin mendengar ucapanku? Bukankah yang aku katakan adalah semata-mata firman Allah dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta para imam kenamaan? Tapi lihatlah orang ini! Yang ia sebutkan adalah hadits-hadits palsu belaka. Al Qur’an lebih berhak untuk disebutkan. Apakah kalian mendengar firman Allah yang membolehkan istighatsah kepada selain-Nya?! Bolehkah bertawassul (dengan mayit)?! Atau kalian pernah mendengar ucapan para imam terkemuka dalam hal ini semua?! Tidak sama sekali tidak! Kalian hanya mendengar hadits-hadits palsu dan dhaif atau tak lebih dari sekedar omongan segelintir manusia yang sangat masyhur di kalangan kalian sebagai ahli khurafat?!”

Tidak lama kemudian orang tersebut bangkit sambil mencaci maki! Namun aku hanya tersenyum dan sama sekali tidak menanggapi caciannya. Aku hanya mengucapkan: "Jazakallahu khairan, barakallahu fiik, barakallahu fiik, jazakallahu khairan! Tidak lebih dari itu".

Bubarlah acara tersebut. Maka demi Allah yang tidak ada ilah yang haq kecuali Dia. Ternyata keesokan harinya banyak orang memperbincangkan kejadian ini, baik di masjid-masjid maupun di pasar-pasar. Mereka katakan bahwa orang-orang Sufi sudah kalah.

Karenanya belajarlah wahai saudaraku, metode dakwah yang benar sesuai dengan syariat, (tanamkan pada diri kita) tujuan kita berdakwah tidak lain agar umat manusia mendapatkan hidayah. Dan berupaya agar al haq sampai kepada hati manusia.

Wahai saudaraku, wajib bagi kalian menggunakan suatu sarana di dalam berdakwah illallah dengan cara syar’i yang tidak menyimpang dari ajaran Islam, bukan berarti menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Jelasnya, ini adalah ciri-ciri ahlul bid’ah, sehingga mereka gampang melakukan kedustaan, bersilat lidah dan saling mencaci. Demikian yang dikatakan oleh Imam Ali bin Harb Al Mushili tentang ciri-ciri ahlul bid’ah.

Semua pengekor hawa nafsu selalu berdusta dan mereka tidak peduli dengan kedustaan tadi. Dan metode semacam ini (kedustaan) tidak ada pada kita Ahlus Sunnah. Kita adalah orang-orang yang jujur, berpegang dengan kebenaran disamping itu kita senantiasa mencari metode dakwah yang mudah diterima manusia dan menarik simpati mereka.

Kemudian kita melanjutkan perjalanan ke Kasala, masih wilayah Sudan. Masya Allah, dakwah Ahlus Sunnah mendapatkan kemudahan dan mendapat tanggapan bagus. Kita diberi kesempatan untuk berkhutbah dan kita bersyukur dengan keadaan ini.

Kemudian kita pergi ke kota Ghatharif, sebuah kota kecil di sana. Kami menyempatkan diri untuk mengelilingi masjid-masjid di kota ini. Ada sebagian dari Jama’ah Ansharus Sunnah mengatakan: “Ya Syaikh, hanya tinggal satu masjid di kota ini yang belum terjamah dakwah ini, sebab masjid ini adalah basis Thariqah Tijaniyyah lantaran itu kita belum bisa masuk kesana.

“Lho kenapa?”
“Sebab mereka sangat fanatik.”
“Baiklah, kalau demikian kita pergi ke sana. Kita minta izin. Kalau diizinkan untuk bicara, maka kita bicara. Tapi kalau mereka melarang, maka udzur kita di sisi Allah. Dan ingat! Jangan kita memaksakan diri untuk bicara.”

Sampailah kami di masjid mereka. Kita shalat bersama mereka sebagai makmum. Usai shalat, kami ucapkan salam kepada sang imam. Aku berkata, “Bolehkah aku berbicara di hadapan saudara-saudara kami disini?

Silahkan!” jawab sang imam.

Mulailah aku berceramah, aku ajak mereka untuk mentauhidkan Allah dan melaksanakan Sunnah dan perkara-perkara lain dari agama.

Sesekali aku menyinggung beberapa kesalahan serta berbagai kesesatan yang ada. Di sela-sela itu aku mengutip hadits Aisyah -Muttafaq alaihi yang berbunyi:

“Ada tiga hal, barangsiapa yang mengatakan tiga perkara ini maka ia telah melakukan kedustaan yang besar di sisi Allah. Barangsiapa yang meyakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah melihat Rabb-nya (di dunia) maka ia telah melakukan kedustaan yang besar di sisi Allah. Kedua: Barang siapa meyakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahui perkara-perkara yang akan datang maka ia telah melakukan kedustaan yang besar di sisi Allah… -dan saya sebutkan pula berbagai dalil yang mendukung hadits ini- Ketiga: Barangsiapa meyakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyampaikan risalah dari Allah secara sempurna maka ia telah melakukan kedustaan yang besar di sisi Allah.”

Lalu sang imam berkomentar (ia terlihat gusar dan gelisah): “Demi Allah, sesungguhnya Nabi Muhammad telah melihat Allah dengan kedua matanya di dunia.”

Lalu aku hanya bisa menyambut komentar sang imam dengan ucapan: "Jazakallahu khairan. (Tentunya kita tahu) Aisyah sebagai istri Rasul lebih tahu keadaan beliau. Kalaulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam benar melihat Rabb-nya di dunia tentu Aisyah akan mengabarkannya, tapi kenapa ia tidak mengabarkannya?"

Lalu ia mendesakku dengan pertanyaan bertubi-tubi.

Aku katakan: “Ya akhi, tunggu sebentar, beri kesempatan kepadaku agar aku selesaikan jawabanku satu persatu. Setelah itu silakan engkau lanjutkan dengan pertanyaan lain sekehendakmu. Apa yang aku ketahui akan aku jawab dan apa yang tidak aku ketahui aku katakan kepadamu: Wallahu a’lam.”

Lalu aku abaikan orang itu dan aku teruskan pembicaraanku. Aku tidak tahu apakah ia tetap bersamaku atau pergi dari majelis, karena akupun sengaja tidak menoleh kepadanya. Terdengar olehku bisikan orang:

“Benar juga ucapan orang ini.” Terdengar juga dari selain dia kalimat dengan imbuhan, “Demi Allah, lelaki ini hanya mengucapkan firman Allah dan Rasul-Nya.” Barakallahu fiikum -adzan Isya telah dikumandangkan. Maka berakhirlah acara tersebut lantas hadirin melaksanakan sholat Isya’.

Tiba-tiba mereka mendorongku untuk menjadi imam. Aku katakan: “Sama sekali aku tidak mau menjadi imam.”

Malah mereka mengatakan: “Wallahi, shalatlah mengimami kami, wallahi, shalatlah menjadi imam kami.” Aku katakan: “Baiklah kalau begitu.”

Akhirnya aku pun shalat mengimami mereka. Usai shalat aku menunggu sejenak. Kemudian aku pulang bersama para pemuda Ansharus Sunnah.

Aku katakan kepada mereka: “Kemana sang imam pergi?”

Mereka menjawab: “Telah diusir!”

“Lho, siapa yang mengusirnya?” tanyaku lagi.

“Wallahi, jama’ahnya yang mengusir dia!” tandas mereka.

Itulah yang terjadi, wahai saudara-saudaraku! Singkatnya, jika ada yang datang berdakwah kepada mereka kemudian membodoh-bodohkan pengikut aliran Tijani, boleh jadi mereka akan menebas lehermu, tidak cukup hanya diusir! Tapi jika kalian datang berdakwah kepada mereka dengan hikmah dan lemah lembut -barakallahu fiikum- maka Allah akan memberi manfaat kepada mereka dengan sebab kedua perangai tersebut.

Hendaknya engkau berbekal dengan ilmu yang bermanfaat, hujjah yang kokoh, senantiasa memprioritaskan hikmah di dalam dakwah kalian. Wajib atas kalian untuk berhias diri dengan akhlak mulia yang telah dianjurkan oleh Allah dalam Kitab-Nya dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya itu merupakan wasilah untuk mendapatkan pertolongan dan kesuksesan.

Yakinilah bahwa shahabat tidak menyebarkan Islam ini dengan mudah merasuk ke dalam hati umat manusia kecuali karena peranan hikmah dan keilmuan mereka yang lebih mendominasi ketimbang dengan pedang. Di sisi lain, orang yang mendapat hidayah Islam di bawah naungan pedang, seringnya kurang kokoh. Sementara orang yang mendapat hidayah Islam melalui penyampaian ilmu, hujjah, dan dalil, justru lebih kokoh keislamannya -dengan izin dan taufik Allah.

Maka seyogyanya kalian menempuh jalan ini, sekaligus berupaya dengan sungguh-sungguh mencari ilmu dan berdakwah ke jalan Allah.

Sumber: Dakwah Salafiyah Dakwah Penuh Hikmah, karya Asy Syaikh Rabi’ bin Hadi ‘Umair Al Madkhali (diterjemahkan oleh Al Ustadz Abu Affan Asasuddin) terbitan Qaulan Karima hal.  36-45.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar